gemblung

saat kita menyalahkan orang laen jari telunjuk kita mengarang pada orang lain tapi keempat jari kita menunjuk diri kita sendiri

pengembangan potensi-potensi diri

banyak saluran yang bisa digunakan. seperti lewat musik, seni, olah raga, ilmu pengetahuan ataupun lainnya. karena itu segera ketahui dan kenalilah potensi-potensi dalam dirimu sendiri. sesudah merasa yakin dan menatap, kembangkanlah dalam kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan bidangnya. disini kamu bisa menyalurkan energi positif cintamu untuk mengubah potensi menjadi sesuatu yang lebih berarti maupun untuk merealisasikan pencapaian prestasi-prestasi tertentu sesuai bidangnya itu

bila cinta tak mungkin bersatu

cinta memang menuntut dua insan untuk menyatukan hati. karena bila hati sudah bercabang~cabang tentunya tidak bisa seiring sejalan. namun cinta juga harus menghadapi kenyataan! sepahit apapun kenyataan itu. yah, seperti dua sejoli yang saling mencinta tapi mereka tak mungkin bersatu itulah. nah, bila ini ternyata yang haruz dihadapi apa yang sebaiknya kita lakukan?
cara terbaik adalah dengan menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang. hadapilah sebagai ujian yang berat dan pahit dalam kehidupan ini. ambilah hikmah yang ada dibalik peristiwa itu sebagai pelajaran berharga

hari sumpah pemuda

hari ini hari sumpah pemuda tgl 28 oktober 2009.. isi sumpah pemuda opo yo??? aq lali cah.. nyanyi lagune roma irama ae.. judi..tet.. meracuni keimanan.. judi tet.. bukan anaknya paidi.. judi..tet.. bukan juru berdiri.. bohong..teet.. itu berkata tidak jujur.. tuluskah hatimu mencintai aq bila aq telah melakukan salah.. maafkan aq jika itu yg terbaik untuk dirimu walau berat untukku berpisak denganmu.. aq telah menyesal mengenang dikau mana janji manizmu setia sampe aku mati lalu hidup lagi namun kau kini meninggalkan aku sendirian.. oalah gusti isuk2 wez ken0 sumpah. bcanda

percaya diri

ku teringat hati yang bertabur perih.. perjalanan ini terasa sepi tanpa dirimu duhai sapiku.. dirimu begitu seksi
postur tubuhmu yg tinggi, congormu yang hitam dan kulitmu yang putih membuatku terpesona.. lalu ku dekati dirimu untuk memeras susumu yang penuh gizi.. sekarang kamu dimana???

pengen

abcdefghijklmnopqrstuvwxyz aduuuh mo ngetik ap.. wengi iki lintange ndelik..bulane yo ketutup mendung. judule kecut, sakauw.. arep udut udute raono.. udute pak kost neng duwor tipi gek pak kostnya urung turu.. di ganti ngango peluk uwoh rasane yo ora enak. wah jan njegideg tnan iki.. blas ora mbois.. kopet.
hawane jan ora penak, turu yo ora isoh.. arep ngiseng yo ora kepiseng.. carane ngeneki aq dadi ora betah nengkene gek aq arep neng jepang gek nikah sama maria ozawa

haduh

kodok ngoyak wewe
wong wedok ora mung kowe
kodok midak telek
kowe pancen elek

jadwal kuliah

hari ini ada remidian aku termasuk jadi panitia remidi.. mau belajar gk punya buku. yowez lah mangkat kuliah modal awak waraz tekan kampuz gur lolak lolok jadwale berubah wez mugo2 dosene lali

lapar

aduh wetengku lue... wetengku tak kasih balsem trus tak tempelke lantai sama tak ombeni wedang putuh jadi tambah wareg tapi jur ngentut ae... gulang gulung ngangti kayang kayang iseh ngentut. malah entute tambah banter

kesulitan

Kesulitan, setelah semua, adalah salah satu kenikmatan hidup yang penting: musik, atletik, menari gairah kami sebagian karena mereka terlibat kesulitan besar. Epik dan tragedi, tidak kurang dari film laga dan misteri, menggambarkan perjuangan seorang individu dengan kesulitan besar. Dalam pekerjaan sulit dan menghibur Ulysses, James Joyce menceritakan tantangan yang terlibat oleh gigih, digagalkan pahlawan Leopold dan ambisius, narsisistik pahlawan Stephen. Golf dan video game, untuk kategori demografis tertentu, memberikan habis-habisnya, sumber-sumber tersedia kesulitan.

seperti kucing

Aku sudah tumbuh gondok dari penyiksaan ini,
membungkuk ke sini seperti kucing di bulakrejo
(atau tempat lain di mana air tergenang racun).
Perutku terjepit di bawah dagu, jenggotku
menunjuk pada surga, otakku hancur dalam peti,
dadaku memuntir seperti perampas. Kuas,
di atas saya sepanjang waktu, menggiring cat
sehingga wajahku membuat lantai yang bagus untuk kotoran!

Paha saya yang menggiling ke nyali,
ass malang untuk bekerja sebagai penyeimbang,
setiap gerakan saya membuat buta dan tanpa tujuan.
Hang kulitku longgar di bawah saya, saya tulang belakang's
semua kusut dari lipat terhadap dirinya sendiri.
Aku membungkuk tegang sebagai busur Suriah.

Karena aku terjebak seperti ini, pikiran saya
gila, berkhianat babat:
orang tunas buruk melalui sumpitan bengkok.

Lukisan saya mati.
Membela itu untukku, Giovanni, melindungi kehormatan.
Saya tidak di tempat yang tepat-aku bukan seorang pelukis.

mata

Anda tidak dapat berkedip.
Anda harus disadap
Dalam cara yang
Jadi berkomitmen untuk misi,

Misi bahwa kami di,
Reformasi negara ini,
Dan kemenangan dalam perang,
Anda tidak dapat berkedip.

Jadi aku tidak berkedip.
telusuri

Aku tidak pernah sekolah

Aku tidak pernah sekolah,
tidak pernah sebelumnya.
saat aku berjalan melewati pintu.


kemudian mengunyah buku.
Aku makan dari lantai
dan menggeram di masak.

Aku minum dari toilet.
Aku menumpahkan semua lem.
Aku menjilat guru baru
dan kebocoran pada sepatunya.

Kepala sekolah mengatakan bahwa
Aku melanggar setiap aturan.
Aku hanya mempelajari alasan
anjing tidak bisa pergi ke sekolah.
telusuri

Untuk masuk surga

Abu ayyub berkata, "seseorang berkata kepada nabi, beritahukan kepada saya amal perbuatan yang dapat memasukkan saya kedalam surga? Jawab nabi, "beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dan menghubungi famili kerabat. "(bukhari dan muslim)

52 Asuhan Keperawatan Infark Miokard Akut (IMA)

ASUHAN KEPERAWATAN INFARK MIOKARD AKUT

A. Pengertian

Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. IMA merupakan kematian terseing di Amerika Serikat. Gambaran distribusi umur, geografi, jenis kelamin dan faktor risiko IMA sesuai angka pektoris atau penyakit jantung koroner pada umumnya (Sjaifoellah Noer, 1996).

B. Etiologi
Penyebab dari IMA adalah sebagai berikut :
1. Trombosis atau gumpalan dari atherosklerosis arterii coronaria, merupakan 90% penyebab IMA. Biasanya dipengaruhi oleh pembuluh yang 75 % sudah tersumbat oleh lesi atherosklerotik. Pembentukan trombus menyebabkan pecahnya lesi atherosklerotik.
2. Spasme dari arteri mungkin menyokong proses penyumbatan pembuluh darah yang sklerotik. Hal ini jarang terjadi, tetapi jika spamse hebat dan lama dapat menyebabkan kerusakan otot jantung.
3. Situasi yang menyebabkan bertambahnya kebutuhan oksigen ke otot jantung, seperti : anemia, hipoxia, hipertensi yang lama, stenosis aorta, ketergantungan kokain.
4. Sebab lain yang non atherosklerotik : emboli, trauma, peradangan.
(Depkes RI)

C. Manifestasi Klinis
Banyak penelitian menunjukkan pasien dengan infark miokard akut biasanya pria, di atas 40 tahun tapi tidak menutup kemungkinan wanita akan terjadi IMA. Pendeteksian dini dari tanda dan gejala IMA sangat membantu mempercepat kesembuhan pasien. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai tanda dan gejala dari IMA.
1. Nyeri dada
Nyeri dengan awitan yang mendadak, nyeri yang tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrogliserin. Nyeri disebabkan karena tidak adekuatnya suplai O2 ke miokardium.
2. Mual dan muntah
Disebabkan oleh reflek stimulasi dari pusat muntah oleh nyeri yang mendadak dan hebat.
3. Perangsangan sistem saraf pusat
Meningkatkan pelepasan katekolamin (norepineprin dan epineprin), diaforesis, vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
4. Manifestasi kardiovaskuler
Tekanan darah dan nadi pada awalnya meningkat, setelah itu tekanan darah menurun karena penurunan cardiac output, output urine menurun. Pembengkakan hati, edema periphenal merupakan indikasi jelas dari gagal jantung. Pembendungan ujung vena jugularis merupakan indikasi awal disfungsi ventrikel kanan dan congesti pulmonal, bunyi jantung abnormal (S3, S4) menunjukkan disfungsi ventrikel.

D. Patofisiologi
Penyebab sumbatan tidak diketahui, walaupun diperkirakan perdarahan akibat plaque atherosklerosis dan formasi trombus diperkirakan merupakan faktor presipitasi.
Tiga puluh menit setelah terjadi sumbatan perubahan metabolik terjadi sebagai akibat dari iskemia. Glikolisis anaerob berperan dalam menyediakan energi untuk menghasilkan laktose. Setelah 20 menit, terjadi perubahan sekuler meliputi ruptur liposom dan kelainan struktural sarkolema yang menjadi ireversibel pada sentral zone infark. Area iskemia ini dapat membaik apabila sirkulasi terpenuhi secara adekuat.
Myocardiak infark mengganggu fungsi ventrikuler yang merupakan predisposisi terhadap perubahan hemodinamik yang meliputi : kemunduran kontraksi, penurunan volume stroke gerakan dinding abnormal, penurunan fraksi ejeksi peningkatan ventrikuler kiri pada akhir sistole dan volume akhir diastole dan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikuler. Mekanisme kompensasi output kardiak dan perfusi yang mungkin meliputi stimulasi reflek simpatetik untuk meningkatkan kecepatan jantung, vasokonstriksi, hipertropi ventrikuler, serta retensi air tuntutan dengan myokardial.
Proses penyembuhan myocard infark memerlukan waktu beberapa minggu. Dalam waktu 24 jam terjadi edema seluler dan infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantung dibebaskan menuju sel. Degradasi jaringan dan nekrosis terjadi pada hari kedua atau ketiga. Pembentukan jaringan parut dimulai pada minggu ketiga sebagai jaringan konektif fibrosis yang menggantikan jaringan nekrotik yang menetap terbentuk dalam 6 minggu sampai 3 bulan. (Depeks RI, 1993).

F. Komplikasi
1. Gagal jantung
2. Syok kardiogenik
3. Infark ventrikel kanan
4. Iskemia berulang
a. Angina
b. Re infark
5. Komplikasi mekanis diri
a. Ruptur septum interventrikel (VSD)
b. Regurgitasi katub mintral
6. Komplikasi mekanis lambat aneurisma
a. Gangguan elektris
b. Tromboemboli

G. Pemeriksaan Diagnosa
1. EKG : menunjukkan peninggian gelombang S-T
2. Enzim jantung dan iso enzim
3. Elektrolit
4. Sel darah putih
5. Kecepatan sedimentasi
6. Kimia
7. GDA atau oksimetri nadi : dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit pra akut atau kronis
8. Kolesterol atau trigliserida serum
9. Foto dada
10. Ekokardiogra

H. Penatalaksanaan
Pengobatan IMA sangat tergantung pada kecermatan membuat diagnosis yang tepat dan cepat. Akan tetapi disamping itu diperlukan pula stratifikasi peralerita berdasarkan resiko dari penyakit yang dideritanya. Langkah-langkah pengelolaan menjadi sebagai berikut :
1. Pengujian diagnosis secara cepat
Terapi umum
2. Stratifikasi fase I
Revaskularisasi atau reperfusi atau tindakan intervensional akut
3. Stratifikasi fase II
Stabilisasi dan bila perlu tindakan intervensional
4. Stratifikasi fase III
Tindakan intervensional bila diperlukan atau tetap pengobatan medikal
5. Rehabilitasi

I. Fokus Keperawatan menurut Gordon
1. Fokus pengkajian
a. Aktivitas
Gejala : Klemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, jadwal olahraga tidak teratur.
Tanda : Tkikardia, dispnea pada istirahat atau aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat IMA sebelumnya penyakit arteri koroner GJK, masalah TD, DM.
Tanda : 1) TD : dapat normal atau naik atau turun, perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri.
2) Nadi : dapat normal : penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan pengiriman kapiler lambat, tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
3) Bunyi jantung : bunyi jantung ekstra : S3/S4 mungkin menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktibilitas atau komplain ventrikel
4) Murmur : bila ada menunjukkan gagal katub atau disfungsi otot papilar
5) Friksi : dicurigai perikarditis
6) Irama jantung : dapat teratur atau tidak teratur
7) Edema : distensi vena juguler, edema dependen atau perifer, edema umum krekels mungkin dapat gagal jantung atau ventrikel.
8) Warna : pucat atau sianosis atau kulit abu-abu, kuku datar pada membran mukosa.
c. Integritas ego
Gejala : 1) Menyangkal gejala penting atau adanya kondisi
2) Takut mati, perasaan ajal sudah dekat
3) Marah pada penyakit atau perawatan yang tak perlu
4) Kuatir tentang keluarga, kerja, keuangan
Tanda : 1) Menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata
2) Gelisah, marah, perilaku menyerang
3) Fokus pada diri sendiri atau nyeri
d. Eliminasi
Tanda : Normal atau bunyi usus menurun.
e. Makanan atau cairan
Gejala : Mual, kehilangan nafsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar
Tanda : 1) Penurunan turgor kulit, kulit kering atau berkeringat
2) Muntah
3) Penurunan berat badan
f. Neurosensori
Gejala : Pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istirahat)
Tanda : Perubahan mental, kelemahan
ASUHAN KEPERAWATAN INFARK MIOKARD AKUT
g. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala : 1) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan aktivitas), tidak hilang dengan istirahat atau netrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral 20 % IM atau nyeri)
2) Lokasi : tipikal pada dada anterior, substernal, prekordia, dapat menyebar ke tangan, lubang wajah tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium siku, rahang, abdomen, punggung, leher
3) Kualitas : chrussing, menyempit, berat, menetap, tertekan seperti dapat dilihat
4) Intensitas biasanya 10 pada skala 1-10 mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami.
5) Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi dengan DM atau hipertensi atau lansia.
Tanda : 1) Wajah meringis, perubahan postur tubuh
2) Menangis, merintih, meregang, menggeliat
3) Menarik diri, kehilangan kontak mata
4) Respon otomatik : perubahan frekuensi atau irama jantung, TD, pernafasan warna kulit atau kelembaban, kesadaran
h. Pernafasan
Gejala : 1) Dispnea dengan atau tanpa kerja, dispnea noktural
2) Batuk dengan atau tanpa produksi sputum
3) Riwayat mereaksi, penyakit pernafasan kronis
Tanda : 1) Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak atau akut
2) Pucat atau sianosis
3) Bunyi napas : bersih atau krekels atau mengi
4) Sputum : bersih, merahmuda kental
i. Interaksi sosial
Gejala : 1) Stress saat ini contoh kerja, keluarga
2) Kesulitan koping dengan stressor yang ada contoh penyakit, perawatan di RS
Tanda : 1) Kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi (marah terus menerus, takut)
2) Menari diri dari keluarga
j. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : 1) Riwayat keluarga penyakit jantung atau IMA, DM, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler perifer
2) Penggunaan tembakau
2. Fokus intervensi menurut Doengoes (2000)
a. Dx. 1
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri koroner.
KH :
1) Menyatakan nyeri dada hilang atau terkontrol
2) Mendemonstrasikan penggunaan tehnik relaksasi
3) Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks, mudah bergerak
Intervensi :
1) Pantau atau catat karakteristik nyeri
2) Kaji ulang riwayat angina sebelumnya
3) Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
4) Berikan lingkunganyang tenang, aktivitas perlahan dan tindakan nyaman
5) Kolaborasi :
a) Berikan O2 tambahan dengan kanula nasal atau masker sesuai indikasi
b) Berikan obat sesuai indikasi (antiangina, penyekat beta, analgetik)
b. Dx. II
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara O2 miokard dan kebutuhan, adanya iskemia atau nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung (penyebab beta, antidisritmia)
KH :
1) Mendemonstrasikan peningkatan aktivitas
2) Melaporkan tidak adanya angina atau terkontrol dalam rentang waktu selama pemberian obat.
Intervensi :
1) Catat atau dokumentasi frekuensi jantung, iramadan perubahan TD sebelum, selama, sesudah aktivitas sesuai indikasi
2) Tingkatkan istirahat, batasi istirahat
3) Batasi pengunjung
4) Anjurkan pasien menghindari peningkatan tekanan abdomen (mengejan saat devekasi)
5) Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas
6) Rujuk ke program rehabilitasi jantung
c. Dx. III
Resiko tinggi terhadap menurunnya curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal, penurunan preload atau peningkatan tahanan perifer vaskuler sistemik (TVS), otot infark atau diskinetik, kerusakan struktural, contoh aneurisma ventrikuler kerusakan septal.
KH :
1) Mempertahankan stabilitas hemodinamik (TD, curah jantung dalam rentang normal)
2) Melaporkan penurunan episode dispnea, angina
Intervensi :
1) Observasi TD
2) Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi sesuai indikasi
3) Adanya murmur atau gesekan
4) Auskultasi bunyi napas
5) Pantau frekuensi jantung dan irama, catat disritmia melalui tekometri
6) Sediakan alat atau obat darurat

d. Dx. IV
Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan atau penghentian aliran darah.
KH :
1) Mendemonstrasikan perfusi adekuat secara individual (kulit hangat dan kering, ada nadi perifer atau kuat, tanda vital dalam batas normal)
Intervensi :
1) Selediki perubahan tiba-tiba oleh gangguan mental kontinu
2) Pantau pernapasan, catat kerja pernapasan
3) Kaji fungsi gastrointestinal, catat anoreksia, penurunan atau tidak ada bising usus, mual atau muntah
4) Pantau pemasukan dan catat perubahan haluaran urine
5) Kolaborasi dokter, pantau data lab (GDM, BUN, kreatinin, elektrolit)
e. Dx. V
Resiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan perfusi organ (ginjal), peningkatan Na atau retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma.
KH :
1) Mempertahankan keseimbangan cairan
2) TD dalam batas normal
3) Paru bersih
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi napas untuk adanya krekels
2) Catat adanya edema dependen
3) Ukur masukan atau haluaran, catat penurunan pengeluaran
4) Timbang BB tiap hari
5) Pertahankan pemasukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler

DAFTAR PUSTAKA

Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Gray, Huon H. Dkk. 2002.
Aaronson, Philip I. & Ward, Jeremy P.T. 2011. At A Glance: Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Erlangga. Baradero, Mary. Dkk. 2008.
Sistematika Interpretasi EKG: Pedoman/Praktis. Jakarta: EGC. Muttaqin, Arif. 2008.
Lecture Note: Kardiologi edisi keempat. Jakarta: Erlangga. Dharma, Surya. 2009.
Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler & Hematologi. Jakarta: salemba Medika.
Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika. 2009.

sekian sharing
ASUHAN KEPERAWATAN INFARK MIOKARD AKUT
harap maklum bila masih banyak kekurangan

Leaflet Imunisasi

IMUNISASI

A. Pengertian
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan kepada bayi dan anak terhadap penyakit tertentu.

B. Tujuan
1. Untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu.
2. Mencegah gejala yang dapat menimbulkan cacat atau kematian apabila terjadi penyakit dan tidak akan terlalu parah.

C. Jenis Imunisasi
1. Imunisasi wajib
Sesuai dengan program pemerintah tentang program pengembangan imunisasi maka anak wajib mendapat imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama yang termasuk dalam PDSI yaitu vaksin BCG, DPT, Polio, Campk dan Hepatitis B.
2. Imunisasi yang dianjurkan
Imunisasi lain yang dianjurkan saat ini di Indonesia ialah MMR (Measles, Mumps, Rubela), vaksin Demam Tifoid, vaksin Hb untuk meningitis, vaksin hepatitis A, vaksin Varicella (cacar air), vaksin rabies.
3. Imunisasi lain
a. Vaksin masa depan
Meliputi : vaksin diare, vaksin malaria, vaksin demam berdarah dengue, vaksin ISPA oleh virus, vaksin pneumokokus, vaksin PMS, vaksin penyakit lepra, vaksin antraks, vaksin CMV.
b. Vaksin yang sudah dihentikan
Diantaranya adalah vaksin cacar, kolera dan sampar (pest) yang pemakaiannya sudah dihentikan serta vaksin demam kuning, radang otak jepang B, influenza, stapilokokus, streptokokus.

D. Persyaratan Pemberian
 Bayi atau anak dalam konsisi sehat
 Cara pemberian benar
 Vaksin baik, tidak rusak dan tidak kadaluarsa
 Dosis tepat

E. Reaksi yang Timbul
 Demam : berikan antipiretik
 Gatal-gatal : berikan anti histamin
 Nyeri : berikan analgetik





F. Jadwal Imunisasi Dasar / Wajib
Umur Jenis Imunisasi
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
9 bulan BCG, DPT 1, Polio 1
HB 1, DPT 2, Polio 2
HB 2, DPT 3, Polio 3
HB 3, Polio 4
Campak
Sumber : Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Depeks RI, 2001

Umur Jenis Imunisasi
Lahir
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
7 bulan
9 bulan Polio 1
BCG, HB 1
HB 2, DPT 1, Polio 2
DPT 2, Polio 3
DPT 3, Polio 4
HB 3
Campak






































IMUNISASI

Disampaikan Dalam Rangka Penyuluhan Kesehatan









Disusun Oleh :

MAHASISWA AKPER COY
SURAKARTA




AKPER COY
SURAKARTA
2008

53 Asuhan Keperawatan Kolelitiasis


A. Pengertian
Kolelitiasis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu, biasanya berhubungand engan batu empedu yang tersangkut pada duktus kistik, menyebabkan distensi kandung empedu. (Doenges, Marilynn, E., 1999)
Kolelitiasis adalah (kalkulus atau kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Batu empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Smeltzer, Suzanne, C. 2001)

B. Etiologi
Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol, kalsium bilirubinat, atau campuran, disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu. Batu empedu dapat terjdi pada duktus koledukus, duktus hepatika, dan duktus pankreas. Kristal dapat juga terbentuk pada submukosa kandung empedu menyebabkan penyebaran inflamasi. Sering diderita pada usia di atas 40 tahun, banyak terjadi pada wanita. (Doenges, Marilynn, E. 1999)

C. Patofisiologi
Ada dua tipe utama batu empedu : batu yang tersusun dari pigmen dan batu yang tersusun dari kolesterol.
1. Batu pigmen : kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu-batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi.
2. Batu kolesterol : kolesterol sebagai pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air, kelarutannya tergantung pada asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pasien penderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu yang jenuh oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu dan menjadi iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer, Suzanne C., 2000)

D. Manifestasi Klinis
1. Aktifitas atau istirahat
Gejala : kelemahan
Tanda : gelisah
2. Sirkulasi
Tanda : takikardi, berkeringat
3. Eliminasi
Gejala : perubahan warnaa urin dan feses
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urin gelap, pekat, feses warna tanah liat, steaforea.
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, mual atau muntah, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dispepsia
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan
5. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadaran kanan atas ditekan
6. Pernafasan
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas pendek, dangkal
7. Keamanan
Tanda : demam, menggigil, ikterik, berkeringat dan gatal, perdarahan (kekurangan vitamin K)
(Doenges, Marilynn E, 1999)

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan sinar X-Abdomen
2. Ultrasonografi (USG)
3. Pemeriksaan pencitraan radionukleida atau koleskintografi
4. Kolesistogragi
5. Kolanlopankreatogragi retrogad endoskopik CERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) : pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens.
6. Kolangiografi transhepatik perkutan : penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier.
(Smeltzer, Suzanne, C. 2001)
7. Darah lengkap : lekositosis sedang
8. Bilirubin dan amilase serum meningkat
9. Enzim hati serum –AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH meningkat
10. Kadar protrombin : menurun
11. CT-scan
(Doenges, Marlynn, E, 1999)

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet
80% dari pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Diit yang dianjurkan adalah tinggi protein dan karbohidrat.
b. Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodial, chenofalk). Fungsinya untuk menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya dan tidak desaturasi getah empedu.
c. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
Pengangkatan batu empedu : menginfuskan bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butil eter (MTBE) ke dalam kandung empedu.
Pengangkatan non bedah : dengan lewat saluran T-tube dan dengan alat jaring untuk memegang dan menarik keluar batuyang terjepit dalam duktus koleduktus.
d. Extracorporal shock-wave lithotripsy (ESWL) : gelombang kejut berulang yang diarahkan kepada batu empedu yang gelombangnya dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik.
Efek samping : petekia kulit dan hematuria mikroskopis
2. Penatalaksanaan bedah
a. Kolesistektomi : paling sering digunakan atau dilakukan : kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b. Minikolesistektomi : mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4 cm.
c. Kolesistektomi laparoskopik (endoskopik) : lewat luka insisi kecil melalui dinding abdomen pada umbilikus.
d. Koledokostomi : insisi lewat duktus koledokus untuk mengeluarkian batu empedu.
(Smeltzer, Suzanne C, 2001)

G. Pathway dan Masalah Keperawatan
Ekskresi kolesterol bilirubin

Kristalisasi kolesterol bilirubin

Terbentuk batu

Menyumbat choleduktusistikus

Aliran asam empedu

Kontriksi kantong empedu

Distensi kandung empedu

Sensitivitas syaraf nyeri

Nyeri


Akumulasi asam
Lambung

Iritasi mukosa lambung

Merangsang pusat muntah

Muntah

Pergerakan batu

Iritasi mukosa empedu

Aktivitas syaraf nyer organ viseral dan aktivitas simpatis

Motilitas lambung menurun

Pengosongan lambung lambat

Perut terasa penuh

Nafsu makan menurun

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

E. coli
Masak dalam empedu

Bilirubin glukoronis diubah jadi bilirubin bebas

Aliran bilirubin terkonjugasi

Penumpukan bilirubin

Masuk aliran darah

Menumpuk pada subkutis

Merangsang produksi histamin

Gatal

Resiko kerusakan integritas kulit

H. Komplikasi
1. Kolistitis obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koleduktus
2. Peritonitus
3. Ruptur dinding kandung kemih
(Arif Mansjoer, 2001)

I. Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1. Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan bedah abdomen.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan insisi bedah abdomen.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan drainase bilier sesudah dilakukan tindakan bedah.
4. Gangguan nutrisi berhubungan dengan sekresi getah empedu yang tidak adekuat.
5. Kurang pengetahuan tentang kegiatan merawat diri sendiri setelah pulang dari rumah sakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
(Smeltzer, Suzanne, C, 2001)

J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, obstruksi (spasme duktus)
Intervensi :
a. Observsai dan catat beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri
Rasionalisasi : membedakan penyebab nyeri dan kemajuan atau perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
b. Catat respon terhadap obat
Rasionalisasi : nyeri berat tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya komplikasi.
c. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
Rasionalisasi : posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alami.
d. Gunakan spresi halus atau katun
Rasionalisasi : menurunkan iritasi atau kulit kering dan sensasi gatal.
e. Dorong menggunakan teknik relaksasi
Rasionalisasi : meningkatkan istirahat dapat meningkatkan koping
f. Kontrol suhu lingkungan
Rasionalisasi : udara dingin dapat meminimalkan ketidaknyamanan kulit.
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan melalui penghisapan gaster berlebihan, muntah, distensi dan hipermotilitas gaster.
Intervensi :
a. Pertahankan masukan dan haluaran akurat, kaji membran mukosa, kulit, nadi perifer, dan pengisian kapiler.
Rasionalisasi : memberikan informasi tentang status cairan atau volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian.
b. Awasi tanda atau gejala peningkatan atau berlanjutnya muntah atau mual dan kram abdomen.
Rasionalisasi : muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium dan klorida.
c. Hindarkan dari lingkungan yang berbau
Rasionalisasi : menurunkan rangsangan pada pusat muntah.
d. Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut, berikan minyak.
Rasionalisasi : menurunkan kekeringan membran mukosa.
e. Kaji perdarahan yang tak biasanya
Rasionalisasi : protrombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan resiko perdarahan.
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual atau muntah, dispepsia, nyeri
Intervensi :
a. Kaji distensi abdomen, sering berdahak, berhati-hati menolak bergerak
Rasionalisasi : tanda non verbal ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan nyeri gas.
b. Hitung pemasukan nyeri
Rasionalisasi : mengindentifikasi kekurangan atau kebutuhan nutrisi
c. Timbang sesuai indikasi
Rasionalisasi : mengawasi keefektifan rencana diet
d. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan
Rasionalisasi : untuk meningkatkan nafsu makan atau menurunkan mual
e. Ambulasi dini dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
Rasionalisasi : membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi :
a. Kaji ulang proses penyakti atau prognosis
Rasionalisasi : memberikan dasar pengetahuan dalam mengambil keputusan.
b. Berikan penjelasan atau alasan tes dan persiapannya
Rasionalisasi : informasi menurunkan cemas dan rangsangan simpati
c. Kaji ulang program obat:
Rasionalisasi : dosis harus sesuai indikasi pasien
d. Anjurkan pasien untuk menghindari makanan atau minuman tinggi lemak
Rasionalisasi : mencegah terulangnya serangan kandung empedu
(Doenges, Marilynn, E, 1999)

54 Asuhan Keperawatan Leptospirosis

A. Pengertian
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme leptospira interogens tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yaitu disertai ikterus ini dengan penyakit yang lain yang menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal sebagai weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama yaitu :
1. Mud fever
2. Slime fever
3. Swemp fever
4. Autumnal fever
5. Infectious joundice
6. Fiel faver
7. Care cutter fever

B. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira. Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yaitu patogen linterrogans, dan yang non patogen atau saprofit L.biflexa. Kelompok patogen terdapat pada hewan dan manusia. Ciri khas dari organisme ini yakni terbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 cm dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkat, membentuk suatu kait terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan flagella. SP irochaeta ini halus, sehingga dalam mikroskopis lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil dengan pemeriksaan lapangan redup mikroskopis biasa morfologi lekospira secara vibum dapat dilihat. Lepto spina membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk membuat kultur yang positif dengan mediaum Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik.
Kelompok yang patogen terdiri atas sub group yang masing-masing terbagi atas berbagai serotipe yang jumlanya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan lebih dari 240 serotipe yang tergabung dalam 23 sergrup, diantaranya yang dapat menginfeksi manusia adalah licterohaemorhagiae, L.Javanika, L. celledoni, L. canicola, L. ballum, L. pyrogeres, Lcynopterl, L. automnalis, L australis, L pomona, L. gripothyphosa, L hepdomadis, L batakae, L tardssovi, L. panaka, L. anadamena (shermani), L rananum,L bufonis, L. copenhageni.
Menurut para peneliti yang sering menginfeksi manusia adalah Lictero haemorrhagieae dengan reservoir tikus, L canicola dengan reservoir anjing, dan L. pmona dengan reservoirnya sapi dan babi.


C. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis mulai dari keluhan atau gejala yang ringan sajat seperti demam keluhan mirip influenza, sebagaimana yang dikenal dengan weil disease, meskipun hal tersebut jarang terjadi kebanyakan leptospirosis tidaklah selamanya muncul sebagai penyakit yang berat. Masa tunas berkisar antara 2-26 hari (kebanyakan 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari). Biasanya akan ditemui perjalanan klinis bifisik. FASe I yang dinamakan fase leptospiremia adalah fase dijumpainya leptospira dalam darah. Pada fase leptospriremia ini timbul gejala demam yang mendadak disertai gejala sakit yang mendadak bagian kepala. Frontac, oksipital atau bitemporal. Juga dijumpai gejala keluhan nyeri otot, nyeri tekan, pada otot terutama otot gastrolenemius, paha dan pingggang. Juga sering dijumpai pula mual, muntah, dan mencret.
Dalam penelitian terhadap 559 kasus leptospirosis di Malaysia barat selama 10 tahun (1958-1968) mengemukakan. Pola klinis leptospirosis :
1. Demam : 100 % kasus
2. Injeksi konjungtiva 54 % kasus
3. Jaundic : 46 % kasus
4. Muskular tanderes : 45 %
5. Nyeri otot 32 %
6. Gejala abdominal 29 %
7. Menggigil 22 %
8. Pening 25 %
9. Hepato megali 18 %
10. Splenomegali 1 %
11. Perdarahan 5 %
12. Batuk 4 %
13. Proteinuria 25 %
14. Azotemia 20 %
Fase yang ke-2 (fase imun) yaitu berkaitan dengan munculnya antibodi IeM, sementara konsentrasi C3 normal, manifestasinya lebih klinis atau bervariasi dari fase 1. Setelah relatif asimtomatik selama 1-3 hari gejala pada fase ini sudah menghilang. Fase ini demam jarang melewati 39°C, biasanya berlangsung 1-3 hari saja. Juga sering di sertai iridosiditis, mielitis, ensefalitis.
Fase yang ke-3 (fase penyembuhan), fase ini biasanya terjadi pada minggu ke-2 sampai dengan minggu ke-4. Patogenesisnya belum diketahui, demam dan nyeri otot masih dijumpai yang kemudian berangsur-angsur hilang.

D. Patogenesis
Leptospirasis masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh kemudian terjadi respon imunologi, baik secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik, walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan. Pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian mikro organisme akan mencapai convolused tubules, bertahan di sama dan dilepaskan melalui urin. Leptospirosis dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu stelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian leptospirosus dapat hilang denga fegositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlihat pada patogenesis leptospirosis invasi bakteri langsung faktor inflamasi non spesifik dan reaksi imunologi.

E. Pathway
Leptospirosis

Masuk dalam tubuh

Kulit, selaput lendir

Aliran darah

Jaringan tubuh

Imunologi

Ginjal
Kandung kemih

Infeksi

Nyeri

F. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita leptospirosis ditemukan penurunan kadar trombosit dan meningkat dalam asidosis metabolisme, disfungsi hati, syok. Glukosa serum hiperglikemia yang terjadi menunjukkan glukoneogenesis dan glikogenoliis di dalam hati.
Pada pemeriksaan darah rutin biasanya dijumpai leukositosis. Walaupun kadang-kadnag jumlah leukosit normal atau menurun, pada pemeriksaan hitung jenis biasanya didapati neutrofil meninggi. Laju endap darah juga tinggi terjadi anemia, pada pemeriksaan urin selalu didapati albuminuria. Jika terjadi komplikasi pada ginjal BUN, ureum dan kreatinin akan tinggi, komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin.
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada leptospirosis adalah gagal ginjal, miokarditis, meningitis aseptik hepatitis, indosiklitis.

G. Penatalaksanaan
Obat-obatan ini mikrobial yang dipakai cukup banyak, meliputi pinisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin. Dalam 4-6 jam setelah pemberian penisilin G, terlihat reaksi tipe Jarisch Herxheiminer yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira, anti mikrobia ini efektif pada pemberian hari 1-3 namun kurang bermanfaat bila diberikan setelah fase ke-2 dan tidak efektif jika dijumpai iketerus, gagal ginjal atau meningitis, obat pilihan pertama adalah penisilin G. 1,5 juga unit setiap 6 jam selama 5-7 hari.
Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Seperti gangguan fungsi hati diberikan diet serta perawatan untuk penyakit hati.
Pengobatan
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisiklin
Ampisilin
Amoksisilin 2 x 100 mg
4 x 500-700 ml
4 x 500 mg
Leptospirosis sedang Pinisilin G
Amfisilin
Amoksisilin 1,5 juta unit / 6 jam (iv)
1 gr/6 jam (iv)
1 gr/6 jam (iv)

H. Fokus Intervensi
1. Fokus pengkajian
a. Aktivitas atau istirahat
Gejala malaise
b. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal atau sedikit di bawah jangkauan normal
Denyut ferifer kuat, cepat
Suara jantung : disritmia
Kulit hangat, kulit kering, pucat, lembab
c. Eliminasi
Gejala : Diare
d. Makanan atau cairan
Gejala : Anoreksia, mual atau muntah
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak
Penurunan haluaran, konsentrasi urine
e. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, koma
f. Nyeri
Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi rasa sakit atau ketidaknyamanan urtikaria.
g. Pernafasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pernafasan, penggunaan kortikosteroid, infeksi baru, penyakit vital
Gejala : Suhu sebelumnya meningkat (37,95°C/lebih) tetapi mungkin normal pada lansia, atau mengganggu pasien
Kadang subnormal (dibawah 36,63°C)
Menggigil
Luka yang sulit atau lama sembuh, drainase purulen, lokalisasi, eritema, ruam eritema makuler
h. Seksualitas
Gejala : Pruritus perineal
Baru saja menjalani kelahiran
Tanda : Maserasi vulva, pengeringan vagina purulen
i. Penyuluhan
Gejala : Masalah kesehatan kronis atau melemahkan, misal hati, ginjal, jantung, kanker.
Riwayat splenektomi
Baru saja operasi, luka traumatik
Penggunaan anti biotik
Pertimbangan : DRG menunjukkan lama dirawat 7,5 hari
Rencana pemulangan : Mungkin dibutuhkan bantuan dengan perawatan atau alat dan bahan untuk luka perawatan diri, tugas-tugas rumah tangga.

Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien leptospirosis
1. Peningkatan suhu tubuh (hipertemia) berhubungan dengan peningkatan metabolisme penyakit.
KH : Suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan
Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
Intervensi :
a. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol
b. Anjurkan pasien untuk banyak minum
c. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan anoreksia.
KH : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan
Intervensi :
a. Kaji keluhan mual dan muntah
b. Berikan makanan sedikit tapi sering
c. Kaji cara makan yang dihidangkan
d. Berikan makanan selagi hangat
e. Ukur berat badan pasien tiap hari
3. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.
KH : Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Pasien mampu mandiri
Intervensi :
a. Kaji keluhan pasien
b. Kaji hal-hal yang mampu dan tidak mampu dilakukan pasien
c. Bantu pasien untuk memenuhi aktivitasnya
d. Bantu pasien untuk mandiri
e. Letakkan barang-barang di tempat yang mudah dijangkau


DAFTAR PUSTAKA


Setiati Siti, 2006, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV, FKUI, Jakarta.

Noer, Sjaifoellah, 1996, Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Leptospirosis

55 Asuhan Keperawatan Otitis Media

Pengertian
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel smatoid.
Otitis media terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Otitis media superatif
a. Otitis media superatif akut
b. Otitis media superatif kronis
2. Otitis media non superatif
a. Otitis media serosa akut (basotrauma : eerotitis)
b. Otitis media serosa kronis (glue ear)
(Soepardi, Arsyad, 1998)

Otitis media superatif kronika (OMSK) atau otitis media perforata (OMP) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
(Soepadi, Arsyad, E., 1998)
Otitis media superatif kronika ada 2 yaitu :
1. Otitismedia superatif kronika aktif
Yaitu telinga penderita terdapat kolesteatoma (dengan atau tanpa infeksi) atau perforasi membran timpani kronika dengan infeksi (tanpa kolesteatoma) dengan gejala otore.
2. Otitis media superatif kronika tak aktif
Yaitu telinga penderita perforasi membrana tympani kronika tanpa kolesteatoma atau infeksi tetapi rentan terhadap infeksi dengan gejala gangguan pendengaran.
(Cody, D. Thaner, 1991)


B. Etiologi
Patogen tersering yang diisolasi dari telinga pasien dengan OMSK adalah P.aeruginosa dan S. aureus. Bakteri anaerob juga sering ditemukan dalam penelitian.Jamur biasanya jarang muncul kecuali bila terdapat super infeksi pada liang telinga.(Buchman,2003).

Faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK yaitu :
1. Terapi yang terlambat diberikan.
2. Terapi yang tidak adekuat.
3. Virulensi kuman tinggi.
4. Daya tahan tubuh yang rendah (gizi kurang) atau higiene buruk.
(Soepadi Arsyad, E., 1998)


C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala OMSK yaitu :
1. Perforasi pada marginal atau pada titik atau sentral yaitu perforasi yang terletak di pers flaksida pada membran timpany.
2. Abses / fistel netro-aurikuler (belakang telinga)
3. Polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah.
4. Adanya sekret berbentuk nanah dan berbau khas.
(Soepadi, Arsyad E, 1998)

D. Patofisiologi
Otitis media akut dengan perforasi membran tympani menjadi otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan bila proses infeksi kurang dari 2 bulan disebut otitis media supuratif sub akut, beberapa faktor yan menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang), letak higiene buruk. (Soepardi, Arsyad, E., 1998)

E. Pathway
Mikroorganisme
v
Lubang telinga tengah
v
Menimbulkan peradangan
v
Timbul otore, secara terus menerus
v
Infeksi Perawatan diri yang salah
v
Radang pada telinga
v
Penurunan syaraf pendengaran
v
Gangguan fungsi pendengaran

F. Komplikasi
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Labiringitis
4. Paralisis saraf fasialis yaitu adanya celah-celah tulang alami yang menyebabkan hubungan antara saraf dengan telinga tengah, maka produk-produk infetoksik dapat menimbulkan paralisis wajah.
5. Abses esktradural adalah suatu kumpulan pos diantara dural dan tulang yang menutupi rongga mastoid atau telinga tengah. Gejala-gejala antara lain telinga dan kepala yang berat.
6. Abses subdural
Suatu abses subdural dapat timbul akibat perluasan langsung abses ekstradural atau perluasan suatu tromboflebitis lewat saluran-saluran vena. Gejala-gejalanya antara lain demam, nyeri kepala, gangguan timbul koma pada pasien dengan otitis media supuratif kronik.
(Adams, George L, 1994 : 113-115)

Gejala awal komplikasi OMSK
( Arts, 2001)
1. Demam
2. Nyeri retroorbita pada sisi telinga yang terinfeksi
3. Nistagmus dan vertigo
4. Paralisis fasial pada sisi telinga yang terinfeksi
5. Nyeri kepala dengan atau tanpa letegia.
6. Papil edema
7. Meningismus

G. Penatalaksanaan
Prinsip dasar penatalaksanaan medis OMSK adalah (Mills,1997) :
1. Pembersihan telinga secara adekuat (aural toilet)
2. Pemberian anti mikroba topikal yang dapat mencapai lokasi dalam jumlah adekut.
3. Bedah
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi, keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan :
1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar.
2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
3. Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
4. Gizi dan higiene yang kurang.
Jenis pembedahan pada OMSK
Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dilakukan pada OMSK :
1. Mastoidektomi sederhana
Operasi dilakukan pada OMSK tipe benigna yang dengan pengobatan konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik.
Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
2. Mastordektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan patologis dan mencegah komplikasi ke intrakranial.
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi bondy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum merusak kavum timpani. Tujuan operasi ialah untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid, dan mempertahankan pendengaran yang masih ada.
4. Miringoplasti
Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe I, rekonstruksi hanya dilakukan pada membran timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe benigna dengan perforasi yang menetap.
5. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. (Soepardi, Arsyad, 1997 55-57)

H. Fokus Pengkajian
Menurut Tucker (1998)
Pengkajian
1. Kaji ketajaman pendengaran dan ketrampilan berkomunikasi
Membaca bibir atau bahasa (syaraf alat bantu dengar)
Catat dan pensil
Kartu pengingat
Tentukan status dan durasi kerusakan
2. Kaji penerimaan terhadap kerusakan dan ketrampilan yang dipelajari
Penilaian yang bagus
Ketakutan atau kecemasan
Marah, bermusuhan
Pemeriksaan telinga terhadap cairan, krusta, akumulasi serembi dan deformitas

I. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan dalam persepsi-sensori yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran.
Kriteria hasil :
a. Pasien menerima pembatasan disebabkan oleh kerusakan pendengaran
b. Mendemonstrasikan tingkah laku penanganan positif
c. Menggunakan ketrampilan yang dipelajari untuk berkomunikasi
Intervensi
a. Kaji tingkat kerusakan pendengaran
b. Beri penguatan penjelasan dokter tentang kerusakan pendengaran
c. Kaji dan buat cara berkomunikasi
2. Ansietas yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran

Kriteria hasil :
a. Pasien memahami penyebab ansietas
b. Mendemonstrasikan tingkah laku positif dalam penanganan ansietas.
c. Melaporkan penggunaan dalam tingkat ansietas.
Intervensi :
a. Kaji tingkat ansietas
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan perasaan
c. Jelaskan perencanaan perawatan dan libatkan pasien dalam perencanaan tersebut
d. Dorong berkomunikasi dengan orang terdekat
3. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai perawatan di rumah dan evaluasi.
Kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan pengetahuan tentang sumber yang tersedia
b. Memahami dan mendemonstrasikan penggunaan dan perawatan alat bantu pendengaran
c. Mendemonstrasikan penetesan obat tetes telinga dengan akurat.
Intervensi :
a. Beri penguatan penjelasan dokter mengenai penyebab kerusakan dan penanganan yang ditentukan.
b. Jelaskan faktor-faktor keamanan yang penting dalam lingkungan rumah.
c. Instruksikan pasien dalam perawatan alat bantu pendengaran dan penyediaan baterai ekstra pada tangan sepanjang waktu.
d. Demonstrasikan perawatan balutan telinga dan penetesan obat tetes jika memungkinkan.
4. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan penampilan fisik.
Kriteria hasil :
- Menyatakan pemahaman akan perubahan dan penerimaan dari situasi yang ada.
Intervensi :
a. Dorong dan dukung pasien dalam memberikan perawatan.
b. Dorong keluarga terdekat untuk menyatakan perasaan pasien.
c. Bantu pasien untuk mengatasi perubahan pada penampilan.
d. Kolaborasi dengan psikiatri dalam program pengobatan.
(Doenges, E., 1999)
5. Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer.
Kriteria hasil :
- Mencegah atau menurunkan resiko infeksi
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital
b. Tekankan pentingnya cuci tangan
c. Berikan perawatan khusus pada keluarga
(Doenges, E., 1999)

DAFTAR PUSTAKA


Adam S, George, L., 1994, ..----- Buku Ajar THT, EGC, Jakarta.

Arhs,H A. 2001. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media In ; Head and Neck Otolaringology Volume 2..3 th Ed.Bailey,B.J.et al (Eds).New York::Lippincott Willims and Wilkins Pp:1760-2

Buchman,C.A.et al.2003.Infection of The Ear.In:Essencial Otolaryngology Head and Head Surgery .8th Ed.Lee,K.J (Eds) New York:Mc-Graw Hill Pp:484-6

Mills,R.P.1997. Management of Chronic Suppurative Ototis Media. In:scott-browns Otolaryngology.6th Ed.Booth,J.B(Eds) Oxford:Butterworth-Heinemann.Pp:3/10/1-8

Gody, D. Thone, R., 1991, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta.

Soepardi, Arsyad, E., 1998, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorokan, FKUI, Jakarta.

Tucker, Martin, S., 1998, Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, EGC, Jakarta..

57 Asuhan Keperawatan Luka Bakar / Combustio


A. Pengertian
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api, cairan dan panas, listrik dan listrik) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat).
Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.

B. Etiologi
Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya kerusakan kulit tetapi juga amat mempengaruhi seluruh sistem tubuh pasien. Seluruh sistem tubuh menunjukkan perubahan reaksi fisiologis sebagai respon kompensasi terhadap luka bakar. Dan pada pasien dengan luka bakar yang luas (mayor) tubuh tidak mampu lagi untuk mengkomposisi sehingga timbul berbagai macam komplikasi.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab luka bakar. Beratnya luka bekas dipengaruhi oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas (misal : suhu benda yang membakar, jenis pakaian yang terbakar, sumber panas, api, air panas, minyak panas), listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi, kebakaran, ruangan yang tertutup. Faktor-faktor yang menjadi penyebab beratnya luka bakar antara lain :
1. Keluasan luka bakar.
2. Kedalaman luka bakar
3. Umur pasien
4. Agen penyebab
5. Fraktur atau luka-luka lain yang menyerupai
6. Penyakit yang dialami terdahulu seperti : diabetes, jantung, ginjal dan lain-lain
7. Obesitas
8. Adanya trauma inhalasi
Keparahan cidera luka di klasifikasikan berdasarkan pada resiko mortalitas dan resiko kecacatran fungsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan cidera termasuk sebagai berikut :
1. Kedalaman luka bakar
Kerusakan kulit akibat luka bakar sering kali digambarkan sesuai dengan kedalaman cidera dan digolongkan dengan istilah ketebalan partial dan ketebalan penuh, yang berhubungan dengan berbagai lapisan kulit.
Umumnya luka bakar mempunyai kedalaman yang tidak sama. SETiap area luka bakar mempunyai tiga zona cidera. Area terdalam merupakan area yang paling banyak mengalami kerusakan dan zona terluar mengalami paling sedikit kerusakan.
Area yang paling dalam disebut zona koagulasi, dimana terjadi kematian selular. Area pertengahan di sebut zona statis, tempat terjadinya gangguan suplai darah, inflamasi, dan cidera jaringan. Area yang terluar disebut zona hiperemia. Zona ini biasanya berhubungan dengan luka bakar derajat I, yang seharusnya sembuh dalam seminggu.
Luka bakar ketebalan partial (partial thickness burn). Luka bakar ketebalan partial dibedakan menjadi luka bakar superfisial (superfisial thickness burn) dan luka bakar ketebalan partial dalam (partial thickness burn). Luka bakar ketebalan partial superfisial (superfisial partial thickness burn) (yaitu luka bakar derajat I) merusak epidermis. Luka bakar akibat terjemur matahari merupakan contoh dari tipe ini. Pada awalnya terasa nyeri dan kemudian gatal akibat stimulasi reseptor sensoris. Biasanya akan sembuh dengan spontan tanpa meninggalkan jaringan parut.
Cedera ketebalan partial dalam (deep dermal partial thickness burn) (yaitu luka bakar derajat II) mengenai lapisan epidermis dan dermis, termasuk kelenjar keringat dan sebasea, saraf sensoris dan motorik, kapiler, folikel rambut. Luka bakar ini akan terasa nyeri dan berwarna merah-pink, dan akan membentuk lepuh serta edema subkutan. Tergantung pada kedalamannya, luka ini akan sembuh dalam 3 sampai 35 hari. Jika luka ini mengalami infeksi, atau suplai darahnya mengalami gangguan maka luka ini akan berubah menjadi luka bakar ketebalan penuh.
Luka bakar ketebalan penuh (fullthickness burn). Biasanya disebut juga luka bakar derajat III yang mengenai lapisan lemak. Lapisan ini mengandung kelenjar keringat dan akar folikel rambut. Semua lapisan epidermis mengalami kerusakan. Luka akan tampak berwarna putih, merah, coklat, atau hitam. Luka tidak akan menimbulkan rasa sakit karena semua reseptor sensoris telah mengalami kerusakan total.

2. Keparahan
Cedera luka bakar dapat berkisar dari lepuh kecil sampai luka bakar masif derajat III. Cedera luka bakar dikategorikan ke dalam luka bakar minor, sedang, dan mayor.
Cedera luka bakar minor. Cedera luka bakar minor adalah cedera ketebalan partial yang kurang dari 15% LPTT (luas permukaan tubuh total) pada orang dewasa dan 10% LPTT pada anak-anak, atau cedera ketebalan penuh kurang dari 2% LPTT. Pasien dengan luka bakar minor.
Cedera luka bakar mayor. Pasien dengan luka bakar mayor biasanya dibawa ke fasilitas perawatan luka bakar khusus setelah mendapatkan perawatan kedaruratan di tempat kejadian.

3. Lokasi luka bakar
Luka bakar pada kepala, leher dan dada seringkali mempunyai kaitan dengan komplikasi pulmonal. Luka bakar yang mengenai wajah sering menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar pada telinga membuat mudah terserang kondritis aurikular dan rentan terhadap infeksi serta kehilangan jaringan lebih lanjut. Luka bakar pada tangan dan persendiaan sering membutuhkan terapi fisik dan okupasi yang lama dan memberikan dampak kehilangan waktu untuk bekerja dan atau kecacatan fisik menetap serta kehilangan pekerjaan. Luka bakar pada area perineal membuat mudah terserang infeksi akibat autokontaminasi oleh urine dan feses. Luka bakar sirkumferensial ekstremitas dapat menyebabkan efek seperti penebalan pembuluh darah dan mengarah pada gangguan vaskular distal. Luka bakar sirkumferensial toraks dapat mengarah pada inadekuat ekspansi dinding dada dan insufisiensi pulmonal.

4. Agen penyebab luka bakar
Luka bakar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan agen yang menyebabkan terjadinya luka bakar, termasuk : termal, listrik, kimia, radiasi.
luka bakar
5. Ukuran luka bakar
Ukuran luka bakar (presentase cedera pada kulit) ditentukan dengan salah satu dari dua metoda : a) rule of nine dan b) diagram bagan Lund dan Browder yang spesifik dengan usia. Ukuran luka ditunjukkan dengan presentasi LPTT (luas permukaan tubuh total). Ketepatan penghitungan bervariasi bergantung pada metoda yang digunakan untuk memperkirakan luasnya luka bakar yang terjadi.
6. Usia korban luka bakar
Usia pasien mempengaruhi keparahan dan keberhasilan dalam perawatan luka bakar. Angka kematian terjadi lebih tinggi jika luka bakar terjadi pada anak-anak yagn berusia dari 4 tahun, terutama mereka dalam kelompok usia 0-1 tahun dan pasien berusia di atas 65 tahun.

C. Manifestasi Klinis
Pada pasien yang mendapatkan resusitasi cairan yang akan kembali normal pada 24 jam pertama post luka bakar, pemberian volume plasma selama 24 jam kedua, curah jantung akan meningkat pada tingkat hipermetabolik dan secara bertahap akan kembali pada tingkat yang lebih normal bersamaan dengan menutupnya luka.
Respons renalis. Dengan menurunnya volume intravaskuler, maka aliran plasma ke ginjal dan GFR (Laju Filtrasi Glomerular) akan menurun yang mengakibatkan haluaran urine. Jika resusitasi cairan untuk kebutuhan intravaskular tidak adekuat atau jika resusitasi cairan terlambat di berikan, maka akan memungkinkan terjadinya gagal ginjal akut. Dengan resusitasi cairan yang adekuat, maka cairan interstitiel dapat ditarik kembali ke intravaskular dan terjadi fase diuresis.
Respon gastrointestinal. Respon umum yang biasanya terjadi pada pasien luka bakar > 20 % adalah penurunan aktivitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolemik dan neurologik, serta respon endokrin terhadap adanya perlukaan luas. Pemasangan NGT akan mencegah terjadinya distensi abdomen, muntah dan potensial aspirasi. Dengan resusitasi yang adekuat, aktivitas gastrointestinal akan kembali normal pada 24-48 jam setelah luka bakar.
Respon imunologi. Respon imunologik dibedakan dalam 2 kategori yaitu : respon barier mekanik dan respon imun selular. Sebagai barier mekanik, kulit berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme yang mungkin masuk. Terjadinya gangguan integritas kulit akan memungkinkan mikroorganisme masuk ke dalam tubuh.
Burn Shock atau syok luka bakar, merupakan komplikasi yang seringkali dialami pasien dengan luka bakar luas karena hipovolemik yang terjadi segera diatasi. Manifestasi sistemik tubuh terhadap kondisi ini (Burgess, 1991) adalah berupa : respons kardiovaskular. Perpindahan cairan intravaskular ke ekstra vaskuler melalui kebocoran kapilernya menggambarkan kehilangan Na, air dan protein plasma serta edema jaringan yang diikuti dengan penurunan curah jantung, hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada organ mayor, edema menyeluruh.

D. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh, panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik, luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka bakar kimiawi.
Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dari kematian sel-sel.

E. Komplikasi
Komplikasi yang sering kali dialami oleh pasien luka bakar yang luas antara lain : curling ulcer, sepsis, pneumoni, gagal ginjal, defermitas, kontraktur, hipertrofi jaringan yang parut, dan dekubitus.
1. Hipertrofi jaringan parut
Hipertrofi jaringan parut merupakan komplikasi kulit yang biasa dialami pasien pada luka bakar yang sulit dicegah, akan tetapi masih jaringan parut mengalami pembentukan secara aktif pada 6 bulan post luka bakar dengan warna awal merah muda dan menimbulkan rasa gatal, pembentukan jaringan parut terus berlangsung dan berwarna berubah menjadi merah, merah tua sampai coklat dan teraba keras atau tegang, setelah 12-18 bulan, jaringan parut akan mengalami tahap maturasi dan warna menjadi coklat muda dan teraba lebih lembut atau lemas.
Pembentukan hipertrofi jaringan parut ini tidak dapat dicegah tetapi dengan tindakan konservatif dapat diantisipasi sejak minggu-minggu awal fase penyembuhan luka (fase pembentukan kolagen). Sering kali tindakan pembedahan juga diperlukan untuk mengatasi jaringan parut terutama jika mempengaruhi fungsi gerak atau sendi, mengakibatkan mobilitas dan mengganggu kenyamanan serta citra tubuh pasien, pembedahan yang dilakukan bisa tergantung berulang kali (perlu lebih dari sekali tindakan pembedahan).
2. Kontraktur
Kontraktur adalah komplikasi yang hampir selalu menyertai luka bakar dan menimbulkan gangguan fungsi pergerakan. Beberapa tindakan yang dapat mencegah atau mengurangi komplikasi kontraktur adalah pemberian posisi yang baik dan benar sejak dini (awal cedera luka bakar). Ambulasi yang diakibatkan 2-3 kali/hari sesegera mungkin (perhatikan jika ada fraktur) pada pasien yang terpasang berbagai alat invasif (misal : IV lines, NGT, monitor EKG, dan lain-lain) perlu dipersiapkan dan dibantu (ambulasi pasif).
Presure garment adalah pakaian yang dapat memberikan tekanan yang bertujuan menekan timbulnya hipertrofi scar, di mana penggunaan presure garment ini dapat menghambat mobilitas dan mendukung terjadinya kontraktur.

F. Penatalaksanaan Luka
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan luka yaitu, penyembuhan luka, infeksi dan penanganan luka.
1. Penyembuhan luka
Proses penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase :
a. Fase inflamasi
Adalah fase yang berentang dari terjadinya luka bakar sampai 3-4 hari pasca luka bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskular dan proliferasi selular. Daerah luka mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotinin, mulai timbul epitelesasi.
b. Fase fibroblastik
Fase yang dimulai pada hari ke-4 – 20 pasca luka bakar. Pada fase ini timbul sebutan fibroblast yang membentuk kolagen yang tampak secara klinis sebagai jaringan gravulasi yang berwarna kemerahan.

c. Fase maturasi
Terjadi proses pematangan, kolagen. Pada fase ini terjadi pula penurunan aktivitas selular dan vaskular, berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, baik yang bersifat menghambat maupun yang mendukung penyembuhan luka. Oleh karena itu amatlah penting mengetahui riwayat kesehatan pasien, penyakit terdahulu dan kebiasaan hidup pasien (seperti merokok, minum alkohol dan lain-lain).
2. Infeksi
Masalah utama yang sering kali dialami pasien luka bakar yaitu terjadinya infeksi yang kemudian berakhir dengan sepsis, oleh karena itu amatlah penting bagi seorang perawat untuk mampu mengidentifikasi adanya infeksi secara klinis dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan organisme pada luka yang berhubungan dengan reaksi jaringan.
3. Penanganan luka
Penanganan luka merupakan hal yang sangat penting dalam menangani pasien luka bakar, baik untuk mencegah infeksi maupun menghindari terjadinya sindrom kompartemen karena adanya luka bakar circumferencial. Ada berbagai macam hal yang dapat dilakukan dalam menangani luka bakar sesuai dengan keadaan luka yang dialami pasien.
a. Pendinginan luka
Mengingat sifat kulit adalah sebagai penyimpan panas yang terbaik (heat restore) maka pada pasien yang mengalami luka bakar tubuh masih tetap menyimpan energi panas beberapa menit setelah terjadinya trauma panas. Oleh karena itu tindakan pendingin luka perlu dilakukan untuk mencegah pasien berada pada zona luka bakar lebih dalaml, tindakan ini juga dapat mengurangi perluasan kerusakan fisik sel. Mencegah dehidrasi dan membersihkan luka sekaligus mengurangi nyeri.
b. Debridemen
Tindakan debridemen bertujuan untuk membersihkan luka dari jaringan nekrosis atau bahan lain yang menempel pada luka. Tindakan ini bisa dilakukan pada saat tindakan pembedahan, tindakan debridement ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi luka dan mempercepat proses penyembuhan luka.
c. Tindakan pembedahan
Luka bakar mengakibatkan terjadinya jaringan parut, jaringan parut merupakan jaringan dermis dan epidermis yang berisi protein yang terkoagulasi yang dapat bersifat progresif (Sidik, 1982) pada luka bakar circumferenial jaringan luka besar yang terbentuk akan mengeras dan menekan pembuluh darah sehingga memerlukan tindakan eskarotomi.
Eskarotomi merupakan tindakan pembedahan utama untuk mengatasi perfusi jaringan yang tidak adekuat karena adanya eschar yang menekan vaskular (Ignativicius, D, 1991 : 385). Tindakan yang dilakukan hanya berupa insisi dan bukan membuang eschar. Apabila tindakan ini tidak dilakukan maka akan mengakibatkan tidak adanya aliran darah ke pembuluh darah dan terjadi hipoksia serta iskemia jaringan.
d. Terapi isolasi dan manipulasi lingkungan
Luka bakar mengakibatkan imunosupresi (penekanan sistem imun) tubuh selama tahap awal cedera. Oleh karenanya pasien luka bakar memerlukan ruangan khusus dengan suhu, ruangan yang dapat diatur, udara bersih, serta terpisah dari pasien lain yang bisa menimbulkan infeksi silang.

G. Resusitasi Cairan
1. Pemilihan cairan
Karena cairan luka mirip dengan plasma, maka larutan elektrolit yang memiliki kandungan paling mirip dengan elektrolit plasma muncul sebagai cairan resusitasi yang efektif untik mengatasi sindrom syok. Larutan garam hipertonik yang mengandung 250 mg natrium klorida/liter. Manfaat utama larutan hipertonik adalah volume yang diperlukan akan lebih kecil dalam 24 jam pertama pasca luka bakar.
2. Resusitasi dalam 24 jam pertama
Kebutuhan cairan selama 24 jam pertama pasca luka bakar berkaitan langsung dengan ukuran tubuh pasien dan luas cidera. Perhitungan resusitasi hanyalah berfungsi sebagai suatu alat perencana dalam memiliki resusitasi. Perkiraan kebutuhan cairan resusitasi pada pasien luka bakar, menurut metode New York Hospital
Dewasa Anak-anak
24 jam pertama pasca luka bakar Larutan RL
4 mL/kg/% luka bakar Larutan LL
4 mL/kg/% ditambah
10 kg pertama – 100 ml/kg
10 kg kedua – 50 ml/kg
10 kg ketiga – 20 ml/kg
24 jam kedua pasca luka bakar Ds/W ditambah larutan yang mengandung koloid ± 0,5 ml/kg/% luka bakar Ds / saline 0,45% ditambah larutan yang mengandung koloid + 0,5 ml/kg/% luka bakar

3. Resusitasi pada 24 jam ke-2
Komponen cairan utama untuk resusitasi pada hari kedua adalah air yang cukup untuk menghasilkan keluaran urin yang adekuat.
4. Pemantauan resusitasi
Keluaran urin merupakan pemantauan keadekuatan resusitasi yang paling mudah dan efektif. Volume urin yang diharapkan adalah antara 40-60 ml/jam (orang dewasa), 1 ml/kg BB/jam.

H. Pengkajian
1. Adanya nyeri
2. Tipe luka
3. Berat luka
4. Permukaan tubuh yang terkena
I. Fokus Diagnosa Keperawatan
1. Defisiti volume cairan berhubungand engan peningkatan kebocoran kapiler dan perpindahan banyak cairan dari intravaskular ke ruang interstitial fase resusitasi.
Tujuan : Pemulihan cairan optimal dan keseimbangan elektrolit serta perfusi organ vital.
Kriteria hasil :
a. TTV pasien dalam batas normal.
b. Tidak terjadi sianosis
c. Pasien tenang, tidak gelisah
d. Produksi urin > 30 ml/menit
e. Hematokrit darah normal : 37-43 %
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital tiap 2 jam termasuk tekanan vena sentral (jika terpasang CVP), haluaran urine.
b. Dapatkan BB pasien saat masuk, timbang BB tiap hari.
c. Pantau dan catat masukan cairan.
d. Berikan penggantian cairan IV dan elektrolit dengan kolaborasi dokter.
e. Pantau hasil pemeriksaan elektrolit serum dan hematokrit.
Evaluasi :
Dengan resusitasi cairan yang adekuat, keseimbangan cairan diperkirakan tercapai dalam 24 – 26 jam.
2. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan edema trakea pelepasan (rontok) epidermal jalan nafas, dan depresi siliaris pulmonal akibat cidera inhalasi.
Tujuan : Mempertahankan potensi jalan nafas dan bersihan nafas adekuat.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi nafas pasien dalam batas normal.
b. Jalan nafas pasien tetap paten dengan adanya cidera.
Intervensi :
a. Pertahankan potensi jalan nafas melalui pengaturan posisi pasien yang tepat, pantau tanda-tanda vital terutama frekuensi pernafasan.
b. Berikan O2 yang huminifier.
c. Berikan dorongan kepada pasien untuk batuk efektif, nafas dalam dan lakukan penghisapan lendir jika diperlukan.
d. Berikan AGD, saturasi O2.
e. Lakukan nebulisasi.
f. Siapkan pasien untuk tindakan trakeostomi (kolaborasi dengan dokter)
3. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan luka bakar sirkumferensial yang menyebabkan konstriksi.
Tujuan : Perfusi jaringan perifer adekuat.
Kriteria hasil :
a. Perfusi jaringan adekuat.
b. Tidak terjadi sianosis pada daerah distal.
c. Sirkulasi perifer adekuat setelah tindakan eskarotomi.
Intervensi :
a. Lepaskan semua perhiasan dan pakaian pasien yang ketat.
b. Kaji kedalaman luka bakar dan adanya luka bakar sirkumferensial serta lokasi luka bakar.
c. Kaji pengisian kapiler dari kulit yang tidak mengalami luka bakar pada ekstremitas yang terkena luka bakar.
d. Kaji tingkat nyeri saat melakukan ROM aktif.
e. Tinggikan lengan yang terkena di atas posisi jantung.
f. Berikan dorongan untuk melakukan ROM aktif.
g. Antisipasi dan siapkan pasien untuk eskarotomi, perawatan pasien eskarotomi : kaji kecukupan sirkulasi, periksa nadi, perhatikan warna kulit, gerakan dan sensasi ekstremitas yang terkena.
4. Nyeri berhubungan dengan luka bakar, pemajanan ujung saraf, pengobatan dan anestesi.
Tujuan : Pasien akan lebih nyaman dengan mengungkapkan nyeri atau rasa tidak nyaman terkontrol atau reda.
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat mengontrol nyeri yang dialami.
b. Ekspresi wajah dan posisi tubuh tampak rileks.
c. Frekuensi nadi dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji respon pasien terhadap nyeri saat perawatan luka, terapi fisik dan saat istirahat, gunakan skala nyeri untuk mengkaji tingkat nyeri pasien.
b. Berikan obat sebelum melakukan prosedur rawat luka yang menyakitkan : 45 menit untuk obat oral : 5-10 menit untuk obat IV.
c. Jelaskan semua prosedur pada pasien, ajak pasien berkomunikasi saat memberikan perawatan luka dan melakukan prosedur tertentu.
d. Anjurkan teknik relaksasi.
e. Kaji terhadap kebutuhan akan obat pereda nyeri.
f. Catat respon pasien, untuk mendapatkan terapi obat dan pengobatan.
g. Gunakan teknik pengalihan perhatikan untuk mengalihkan nyeri.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan edema nyeri dan kontraktus sendi.
Tujuan : Pasien akan mengalami mobilitas fisik dengan dapat melakukan kembali aktivitas kehidupan sehari-hari.
Kriteria hasil :
a. Pasien mampu melakukan ROM aktif pada bagian yang mengalami luka bakar.
b. Mobilitas pasien optimal.
c. Tidak terdapat tanda-tanda kontraktur sendi.
Intervensi :
a. Kaji ROM dan kekuatan otot pada area luka bakar yang mempunyai kecenderungan untuk terjadinya kontraktur setiap hari.
b. Pertahankan area luka bakar dalam posisi fungsi fisiologik di dalam batas yang dipertegas oleh cidera, penanduran kulit, alat terapeutik
c. Jelaskan rasional untuk perubahan posisi dan aktivitas pada pasien, anggota keluarga.
d. Konsul pada ahli terapi okupasi dan fisioterapi untuk mendapatkan jadwal rehabilitatif individual, sesuaikan jadwal dengan kebutuhan.
e. Berikan dorongan untuk melakukan ROM aktif selama 2-4 jam ketika pasien bangun, kecuali bila ada kontraindikasi karena prosedur penanduran kulit yang baru dilakukan.
f. Gunakan pressure dressing seperti verban elastik dan jobst pressure garment untuk mencegah kontraktur dan mengatasi hipertrofi jaringan parut yang dapat menghambat mobilitas
terimakasih atas kunjungannya

56 Asuhan Keperawatan Sistem Reproduksi Wanita

KONSEP DASAR

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi dan Sistem Integumen
1. Sistem reproduksi wanita
Menurut Farrer (2001 : 18), anatomi dan fisiologi sistem reproduksi wanita terdiri atas :
a. Genetalia eksterna
Genetalia eksterna sering dinamakan vulva, yang artinya pembungkus atau penutup vulva terdiri dari :

1) Mons pubis
Merupakan bantalan jaringan lemak yang terletak di atas simpisis pubis. Mons pubis berfungsi sebagai bantal pada waktu melakukan hubungan badan.

2) Labia mayora
Labia mayora (bibir besar) terdiri atas dua buah lipatan kulit dengan jaringan lemak dibawhanya yang berlanjut ke bawah sebagai perluasan dari mons pubis dan menyatu menjadi perineum. Sebagai pelindung dari lubang masuk vgina.

3) Labia minora
Labia minora (bibir kecil) merupakan dua buah lipatan tipis kulityang terletak di sebelah dalam labia mayora. Labia minora tidak memiliki lemak subkutan. Permukaan internalnya biasanya saling bersentuhan, sehingga menambahkan pengamanan pada lubang vgina.


4) Klitoriss
Merupakan tonjolan kecil jaringan erektil yang terletak pada titik temu labia minora di sebelah anterior, sebagai salah satu zona erotikk yang utama pada wanita.

5) Vestibulum
Vestibulum adalah rongga yang dikelilingi oleh labia minora. Arifisium dan arifisium vagina bermuara di vestibulum. Arifisium vagina ditutupi oleh lipatan selaput tipis yang disebut hymen, yaitu sebagai penutup seluruh lubang masuk vgina. Saluran kelenjar Bartholini bermuara di sebelah luar hymen. Kedua kelenjar Bartholini mengeskpresikan bahan pelumas miokard, khususnya ketika gairah sekess meningkat.

6) Perineum
Struktur ini membentang dari fourchette (titik temu labia minora di sebelah posterior) hingga anus.

b. Genetalia interna
1) Vgina
Merupakan saluran fibromuskuler elastis yang membentang ke atas dan ke belakang dari vulva hingga uterus. Dinding anterior vagina memiliki panjang ± 7,5 cm dan dinding posteriornya ± 9 cm. Dinding vagina tersusun dalam lipatan (rugae) yang memungkinkan vagina untuk mengembang sampai luas sekali jika dibutuhkan, sehingga dapat dilalaui kepala bayi ketika melahirkan.
Empat fungsi vgina :
a) Lintasan bagi spermatozoa
b) Saluran keluar bagi janin dan produk pembuahan lainnya saat persalinan
c) Saluran keluar bagi darah haid
d) Dengan sekretnya yang asam bisa menghalangi penjalaran infeksi secara asenderen

2) Uterus
Merupakan organ muskular yang berongga, berdinding tebal dan terletak di antara kandung kemih di sebelah anteriornya dan rectum di sebelah posterior. Korpus terdiri dari dua bagian, korpus terdiri dari dua bagian, korpus dan serviks. Panjang uterus 7,5 cm lebar 5,5 cm kedalaman 2,5 cm, dinding uterus sangat tebal ± 1,2 cm.
Uterus terdiri dari :

a) Fundus uteri (dasar rahim)
b) Korpus uteri
Berfungsi sebagai tempat janin berkembang
c) Servik uteri
Ujung servik yang menuju puncak vagina disebut possio (Syaiffudin, 1997 : 115)
Dinding uterus terdiri dari (Syaiffudin, 1997 : 115)
a) Endometrium
Merupakan lapisan dalam uterus. Pada kehamilan endometrium akan menebal, pembuluh darah bertambah banyak yang diperlukan untuk memberi makan pada janin.


b) Miometrium (lapisan otot polos)
Mendorong isinya keluar pada waktu persalinan, setelah plasenta lahir akan mengalami pengecilan sampai keukuran normal sebelumnya.
c) Lapisan serosa (peritoneum visceral)
Terdiri atas ligamentum-ligamentum yang menguatkan uterus. Fungsi uterus adalah :
(1) Menyediakan tempat yang sesuai bagi ovum yang sudah dibuahi untuk menanamkan diri.
Jika korpus luteum tidak berdegenerasi, yaitu jika korpus luteum dipertahankan oleh kehamilan, maka estrogen akan terus diproduksi sehingga kadarnya tetap berada di atas nilai ambang perdarahan haid dan amenorhea merupakan salah satu tanda pertama untuk kehamilan.
(2) Memberikan perlindungan dan nutrisi kepada embrio atau janin sampai matur.
(3) Mendorong keluar janin dan plasenta pada persalinan.
(4) Mengendalikan perdarahan dari tempat perlekatan plasenta melalui kontraksi otot-otot.
(5) Tempat terjadinya perombakan dinding endometrium atau menstruasi
Tanpa adanya kehamilan, korpus luteum akan berdegenerasi serta berhenti memproduksi hormon-hormonnya dan kadar estrogen akan turun mengakibatkan pertumbuhan endometrium dan sekresinya akan berhenti. Pembuluh-pembuluh anterior akan spasme, sehingga terjadi iskhemia, sel-selnya mati akibat kekurangan darah terjadilahl hemoragi dalam endometrium. Lapisan endometrium akan terombak bersama darah menjadi darah haid atau menstruasi.
3) Tuba fallopi
Tuba fallopi juga dikenal dengan oviduct (saluran telur) saluran ini terdapat pada setiap sisi uterus dan membentang dari kornu uteri ke arah dinding lateral pelvis. Panjang tuba ± 10 cm, tuba berjalan melengkung dan berputar ke arah posterior.
4) Ovarium
Merupakan kelenjar kelamin (gonad). Ada dua buah ovarium yang masing-masing terdapat pada setiap sisi dan berada di dalam kavum abdomen di belakang ligamenetum latum dekat ujung fibria tuba fallopi. Ovarium merupakan struktur berwarna putih kelabu dengan permukaan yang tidak teratur dan berukuran sekitar 3 cm x 1,5 cm.
Fungsi ovarium :
a) Produksi, penyimpanan serta pematangan folikel-folikel ovarium dan pelepasan ovum.
b) Produksi horon ovarium, yaitu estrogen dan progesteron
c. Pelvis
Pelvis terdirid dari tulang panggul dan jaringan lunak (Verrals, 1997 : 31)
1) Tulang panggul
Tulang panggul tersusun atas
a) Os. Sacrum
b) Os. Coccygys
c) Os. Coxae kanan dan kiri
2) Jaringan lunak
Jaringan lunak pelvis terdiri dari sendi-sendi atau articulation dan ligamentum pelvis.
a) Articulatio sacroiliaca
b) Symphipis pubis
c) Articulatio saccrococcygea
2. Sistem integumen
Anatomi integumen dalam hubungannya dengan tindakan SC menurut Hamilton (1995 : 65) adalah :
Kulit
Merupakan organ terbesar tubuh yang terdiri dari berbagai lapisan-lapisan, antara lain :
a. Lapisan epidermis
Yaitu bagian terluar kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi. Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel-selnya sangat rapat. Bagian ini mengalami stratifikasi menjadi lima lapisan berikut :
1) Stratum basalis
2) Stratum spinosum
3) Stratum granulosum
4) Stratum lusidum
5) Stratum korneum
Sistem reproduksi wanita
b. Lapisan dermis
Merupakan lapisan kedua dari kulit, dermis terdiri dari 2 lapisan :
1) Bagian atas, pars papilaris (stratum papilar)
2) Bagian bawah, pars tehkularis (stratum retikularis)
c. Lapisan subkutan
Lapisan ini mengandung sejumlah sel lemak, berisi banyak pembuluh darah dan ujung syaraf. Lapisan ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya. Dalam hubungannya dengan tindaakn SC, lapisan ini adalah pengikat organ-organ yang ada di abdomen, khususnya uterus. Organ-organ di abdomen dilindungi oleh selaput tipis yang disebut peritonium. Dalam tindakan SC, sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis) sampai dinding uterus.

B. Pengertian
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan yang terhitung dari saat persalinan sampai pulih kembali alat kandungan ke keadaan sebelum hamil yang berlangsung kurang lebih 6 minggu (Depkes RI, 1997 : 157).
Menurut Prawirohardjo (2001 : 122) masa nifas adalahl dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ± 6 minggu.
Menurut Hamilton (1995 : 281) menambahkan masa nifas adalah waktu penyembuhan dan perubahan waktu kembali pada keadaan tidak hamil dan penyesuaian terhadap penambahan keluarga baru.
Sectio caesaria (SC) adalah suatu cara melahirkan janin pada dinding sayatan uterus melalui dinding depan perut (Mochtar, 1998 : 117).
Menurut Prawirohardjo (2000 : 863) SC adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat badan di atas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh.
Cephalo pelvic disproportion (CPD) adalah ketidakseimbangan janin dengan panggul ibu (Mochtar, 1998 : 319).

C. Penyebab dan Faktor Predisposisi
1. CPD
Mochtar (1998 : 375) mengemukakan bahwa penyebab chephalo pelvic disproporsi adalah sebagai berikut :
a. Faktor ibu : panggul sempit
b. Faktor janin : hydrocephalus, janin besar
2. SC
Idikasi secara umum dilakukan tindakan SC dibagi dalam 2 kategori :
a. Faktor ibu
Yaitu pre eklamsi dan hipertensi, CPD, plasenta previa, partus lama, partus tak maju, ruptur uteri (Mochtar, 1998 : 118). Sedangkan Manuaba (1998 : 339) menambahkan dari faktor ibu yaitu ruptur uteri, KPD.
b. Faktor janin
Yaitu letak lintang, letak bokong, gemeli, presentasi dahi dan muka (Mochtar, 1998 : 118).
Menurut Manuaba (1990 : 339) menambahkan yaitu aspirasi air ketuban dan mekonium, dislokasi persendian, ruptur alat vital seperti hati dan lien bayi juga merupakan indikasi dilakukan SC.
D. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis post SC
Manifestasi klinis post SC menurut Bobak and Jensen (2000 : 316)
a. Nyeri pada daerah insisi
b. Gelisah
c. Mudah tersinggung
d. Nafas tidak teratur
e. Takut untuk mobilisasi dan aktifitas
Menurut Mochtar (1998 : 119) adalah mual, muntay, perut kembung dan anemia. Pengeluaran lokhea yang sedikit dapat terjadi karena pemberian hematoris, tetapi penurunan tonus uterus akibat anestesi dapat menyebabkan pendarahan post partum (Reeder, 1997 : 215).

2. Manifestasi klinik nifas
Menurut Depkes RI (1997 : 158) adalah suhu agak naik beberapa hari setelah persalinan yaitu antara 37,2°C – 37,5°C. Bila suhu melebihi 38°C dianggap tidak wajar. Nadi setelah persalinan mungkin lebih lambat karena ibu dalam keadaan istirahat penuh, miksi kesukaran dalam buang air keciol tetapi pembentukan urine oleh ginjal meningkat, defekasi umumnya mengalami sembelit pada hari pertama setelah persalinan, tinggi dasar rahim makin hari makin rendah seiring dengan mengecilnya rahim. Lochea hari pertama dan kedua rubra, kemudian sanguilenta, alba dan serosa.
Manifestasi klinik fisiologi pada pasien post partum menurut Hamilton (1995 : 288) adalah


a. Involusi uteri
Segera setelah melahirkan, ukuran dan konsistensi uterus kira-kira seperti buah melon kecil dan fundusnya terletak tepat di umbilicus. Setelah itu TFU berkurang 1-2 cm setiap hari sampai akhir minggu pertama, saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Sampai minggu ke-6 normalnya uterus seperti sebelum hamil-involusi uterus menjadi lambat bila uterus terinfeksi.
b. Lokhea
Lokhea adalah keluaran uterus setelah melahirkan. Terdiri dari darah, sel-sel tua dan bakteri. Jumlah dan karakternya berubah dari hari ke hari. Pada awalnya jumlah sangat banyak, sedang dan biasanya berhenti dalam 2 minggu. Warna digambarkan dengna rubra untuk merah segar, serosa untuk serum kecoklatan, dan alba untuk kuning keputihan. Normalnya lokhea memiliki bau seperti darah haid. Bau amis atau busuk menandakan terjadinya infeksi.
c. Afterpain
Afterpain adalah rasa sakit saat kontraksi yang dialami oleh ibu multipara selama 3-4 hari pertama post partum karena menyusui merangsang kontraksi uterus, maka afterpain terjadi saat ibu menyusui bayinya.
d. Payudara
Selama 9 bulan kehamilan, jaringan payudara tumbuh dan menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan bagi bayi baru lahir. Setelah melahirkan, hormon progesteron dan estrogen menurun, kelenjar pituitari mengeluarkan prolaktin. Sampai hari ke-3 setelah melahirkan terbukti adanya efek prolaktin pada payudara. Pembuluh dalam payudara menjadi bengkak berisi darah, hangat dan nyeri. Sel-sel penghasil ASI mulai mencapai dan ASI mulai mencapai puting melalui saluran susu melalui, menggantikan colostrum yang telah mendahuluinya, kemudian laktasi dimulai.

E. Patofisiologi
Menurut Hamilton (1995 : 125) apabila hasil pengukuran pelvik minimal, kepala bayi cukup dalam posisi normal serta kontraksi kuat, maka akan dilakukan persalinan percobaan, bila bayi turun dengan normal persalinan, pervaginam dapat diteruskan dan bila tidak ada kemajuan turunnya kepala bayi di lakukan SC.
Pada kondisi CPD, his yang kuat dapat menyebabkan ruptur uteri dan dengan persalinan tak maju akan mengakibatkan iskhemia dan nekrosis (Manuaba, 1998 : 230).
Menurut Mochtar (1998 : 120), anestesi pre operasi mengakibatkan depresi syaraf pernafasan sehingga akan terjadi penurunan kesadaran. Selain itu juga dapat terjadi penurunan tonus uterus yang akan menyebabkan adanya perdarahan. Akibat anestesi yang lain adalah depresi pada syaraf genitourinaria yang mengakibatkan penurunan otot saluran kemih, sehingga terjadi perubahan eliminasi urin atau retensi urin.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. CPD
Untuk memastikan memadai tidaknya keadaan pelvis untuk dilakukan persalinan perlul dilakukan pemeriskaan, diantaranya (Verrals, 1997 : 42).
a. Pemeriksaan umum, meliputi :
1) Asal etnik
2) Tinggi badan
3) Berat badan
4) Ukuran pinggang
b. Riwayat obstetrik
Apabila wanita primigravida melahirkan bayi dengan ukuran tidak memadai atau mempunyai riwayat kelahiran dengan SC, maka tidak bisa dianggap bahwa pelvisnya memadai, diperlukan pemeriksaan lanjut.
c. Pengukuran luar
Biasanya menggunakan alat pelvimeter. Ada 3 pengukuran yang dapat dilakukan dengan pelvimeter. Antara lain :
1) Diameter interspinalis
2) Diameter inter cristalis
3) Konjugata eksterna
d. Palpasi abdomen
Dilakukan pada kehamilan minggu ke-36 sampai ke-37. Jika kepala fetus tidak dapat diturunkan memasuki pintu masuk pelvis, maka perlu pemeriksaan lanjut untuk mengukuhkan kekuatan pelvis.
e. Pelvimetri sinar-x
Merupakan metoda yang tepat untuk menaksir hubungan antara pelvis ibu dan kepala fetus.
2. Post SC
Pemeriksaan pada pasien pasca partum menurut (Bobak dan Jensen, 2005 : 523) meliputi :
a. Tanda-tanda infeksi
b. Uji laboratorium rutin
c. Farmakoterapi

G. Pathway dan Masalah Keperawatan


H. Penatalaksanaan
Menurut Mochtar (1998 : 155) penatalaksanaan pasca bedah diantaranya :
1. Perawatan luka insisi
Perawatan pertama yang dilakukan setelah selesai operasi adalahl pembalut luka atau wound dressing, dengan baik secara persodik pembalut luka diganti dan dibersihkan dengan alkohol dan larutan suci hama (larutan betadine dan sebagainya). Dibuat pula catatan kapan dilakukan hecting up, perhatikan apakah luka sembuh perprimum atau terdapat eksudat.
2. Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasca operasi pasien puasa, maka pept-Language: kebutuhan. Bila Hb rendah diberikan tranfusi (PRC).
3. Diit
Setelah pasien pasca bedah flatus, pemberian cairan perinfus dihentikan digantikan dengan makanan dan minuman per oral. Adapun makanan diberikan mulai dari bubur saring, minuman sari buah dan susu, selanjutnya bubur secara bertahap dan akhirnya makan biasa.
4. Nyeri
Biasanya 24 jam pertama nyeri dirasakan di daerah operasi. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan analgesik dan penenang.
5. Mobilisasi
Mobilisasi bertahap sangat berguna untuk membantu penyembuhan. Miring kanan-miring kiri dimulai sejak 6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan nafas dilakukan sedini mungkin sambil tidur pada hari kedua pasien dapat didudukkan selama 5 menit sambil nafas dalam disertai batuk-batuk kecil guna melonggarkan pernafasan.
6. Kateterisasi
Dilakukan bila tidak ada luka robekan yang luas pada jalan lahir kandung kemih yang penuh menimbulkan nyeri, menghalangi dan menyebabkan perdarahan. Karena itu dianjurkan pemasangan kateter tetap selama 24 – 48 jam atau lebih lama lagi.
7. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotika, kemoterapi dan anti inflamasi
Sebelum diberikan harus dilakukan sensivitas test (tes alergi) terdahulu melalui injeksi intra kutan.
b. Pencegah perut kembung
Contohnya : plasil, primperan, prostigmi
c. Obat-obatan lainnya
Biasanya roborantia, anti inflamasi, bahan transfusi darah bagi pasien anemis.
8. Perawatan rutin
Dilakukan pemeriksaan rutin atau check up setelah selesai operasi sekurang-kurangnya dilakukan setiap 4 jam sekali. Misal : pengukuran TTV, pengukuran balance cairan (input-output).

I. Fokus Intervensi
Diagnosa keperawatan dan intervensi yang muncul pada post sectio caesarea adalah (Doenges and Moorhouse, 2001 : 339).
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma pembedahan.
Intervensi :
a. Tentukan karakteristik dan lokasi ketidaknyamana, perhatikan isyarat verbal dan non verbal meringis, gerakan melindungi atau terbakar.
b. Lakukan latihan nafas dalam.
c. Anjurkan ambulasi dini.
d. Evaluasi tekanan darah dan nadi.
e. Anjurkan tirah baring pada posisi datar berbaring tingkatkan cairan.
f. Anjurkan tekhnik pernafasan, relaksasi dan distraksi.
g. Ubah posisi pasien, kurangi rangsangan yang berbahaya dan berikan gerakan punggung.
h. Evaluasi rasa sakit secara reguler, catat karakteristik, lokasi dan intensitas.
i. Kolaborasi dalam pemberian analgetik.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, tindakan invasif.
Intervensi :
a. Anjurkan dan gunakan tehnik mencuci tangan dengan benar.
b. Bersihkan luka dengan anti balutan bila basah.
c. Perhatikan jumlah dan lochea.
d. Kaji suhu nadi dan jumlah sel darah putih.
e. Perhatikan perawatan perineal dan kateter.
f. Inspeksi insisi terhadap proses penyembuhan, perhatikan kemerahan, edema, nyeri eksudat atau gangguan penyembuhan.
g. Inspeksi abdominal terhadap rembesan, lepaskan balutan sesuai indikasi.
h. Inspeksi sekitar infus terhadap tanda eritema atau nyeri tekan.
i. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot dan efek anestesi.
Intervensi :
a. Identifikasi aktifitas pasien.
b. Anjurkan cairan oral yang adekuat.
c. Anjurkan ambulasi dini.
d. Auskultasi terhadap adanya bising usus.
e. Anjurkan diit buah dan sayuran.
f. Kolaborasi dalam pemberian laksatif.
4. Kurang pengetahuan mengenai periode pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi :
a. Berikan rencana penyuluhan dengan menggunakan format yang distandarisasi.
b. Perhatikan status psikologi pasien dan respon terhadap kelahiran bayi dan peran menjadi ibu.
c. Anjurkan partisipasi dalam perawatan diri pasien bila mampu.
d. Demonstrasikan tehnik-tehnik perawatan diri.
e. Wajib persiapan dan motivasi pasien untuk belajar bantu pasien dalam mengidentifikasi kebutuhan.
5. Berduka berhubungan dengan kematian bayi atau janin.
Intervensi :
a. Libatkan pasangan dalam perencanaan perawatan.
b. Identifikasi ekspresi terhadap berduka.
c. Tentukan makna kehilangan terhadap kedua anggota pasangan.
d. Perhatikan pola komunikasi antara anggota pasangan dan sistem pendukung.
e. Anjurkan keluarga untuk mengekspresikan perasaan dan mendengar.
f. Kaji beratnya depresi.
6. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perkembangan transisi atau peningkatan anggota keluarga.
Intervensi :
a. observasi dan catat interaksi keluarga bayi, perhatikan perilaku yang dianggap menandakan ikatan dan kedekatan dalam budaya tertentu.
b. Sambutan keluarga untuk kunjungan singkat segera bila kondisi ibu bayi memungkinkan.
c. Berikan informasi sesuai kebutuhan tentang keamanan dan kondisi bayi.
d. Perhatikan pengungkapan atau perilaku yang menunjukkan kekecewaan atau kurang minat atau kedekatan.
e. Anjurkan dan bantu dalam menyusui tergantung pada pilihan pasien.
7. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan efek-efek anestesi trauma jaringan.
Intervensi :
a. Anjurkan ambulasi dini dan latihan.
b. Bantu pasien pada ambulasi dini.
c. Pantau tekanan darah, nadi dan suhu.
d. Inspeksi balutan terhadap perdarahan berlebihan.
e. Inspeksi insisi secara teratur, perhatikan tanda perlambatan atau perubahan penyembuhan.
f. Perhatikan karakter dan jumlah aliran lokhea dan konsistensi fundus.
8. Kurang perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi penurunan kekuatan dan ketahana, ketidaknyamanan fisik.
Intervensi :
a. Kaji berat atau durasi ketidaknyamanan
b. Kaji status atau durasi ketidaknyamanan
c. Ubah posisi setiap 1-2 jam bantu dalam latihan ambulasi dan latihan kaki.
d. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dengan hygiene.
e. Kolaborasi dalam pemberian analgetik.
9. Ketidakefektifan sesuai berhubungan dengan tingkat pengetahuan pengalaman sebelumnya sesuai usia gestasi bayi, struktur atau karakteristik fisik payudara ibu.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan dan pengalaman pasien tentang menyusui sebelumnya.
b. Demonstrasikan dan tinjau ulang tehnik-tehnik menyusui perhatikan posisi bayi selamal menyusui dan lama menyusui.
c. Kaji putting
d. Berikan pelindung putting payudara khusus (misalnya pelindung eschmann) untuk pasien menyusui dengan putting masuk atau datar.
10. Ancietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada konsep diri, transmisi atau kontak intervensi personal, kebutuhan tidak terpenuhi.
Intervensi :
a. Dorong keberadaan atau partisipasi dari pasangan
b. Tentukan tingkat ansietas pasien dan sumber dari masalah
c. Berikan informasi yang akurat tentang keadaan pasien.
11. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan, kerusakan persepsi, imobilisasi.
Intervensi :
a. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
b. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
c. Berikan atau bantu untuk melakukan mobilisasi bertahap.
Menurut Carpenito (2001 : 160) fokus intervensi pada pasien dengan sectio caesaria antara lain :
1. Resiko tinggi kekurangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pendarahan.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital, kondisi fundus uteri, frekuensi perdarahan.
b. Massage fundus bila terjadi atonia uteri.
c. Hindari massage fundus yang tidak perlu.
d. Pertahankan cairan parenteral sesuai dengan program.
e. Anjurkan untuk cairan per oral kecuali ada kontra indikasi.
2. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan imobilisasi dan efek anestesi.
Intervensi :
a. Perhatikan keteraturan dan kelancaran berkemih.
b. Ukur keadekuatan pengeluaran urin.
c. Pergunakan kateter jika perlu.
d. Anjurkan berkemih tiap 4-6 jam/lebih bila mungkin.
e. Jelaskan prosedur perawtan perineal